Blog post
ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory
Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
Legenda
Barista Kopi Gosong
Di pojok
meja cafe Bright Coffee seorang wanita berkacamata berusia 23 tahunan tengah sibuk
dengan pembicaraan telfonnya terlihat kewalahan.
“Iya, maaf
ini karena handphone Sa...”
Untuk
kesekian kalinya ucapannya kembali dipotong.
“Iya, jadi
gi...”
Si wanita paruh
baya itu kini terlihat sedih. Ucapannya terpotong kembali. Mendadak dia punya
ide mengganti nada bicaranya lebih tegas.
“Ok! Tolong
beri saya 3 jam lagi. Sa... Awww!”
Sambil
memekik hampir tanpa suara Rena menjauhkan smartphone dari telinganya yang
mendadak berdenging. Teriakan di ujung telfon sana membuat telinganya sukses
sakit. Editor killernya lah yang baru saja meneriakinya. Dengan muka takut Rena
mendekatkan kembali, alih-alih memberi jarak, smartphone ke telinganya.
“Ha,,,
hallo,,, Ok. 2 jam deh! 2 jam janji udah beres. Ok? Ok??”
Dengan
kakunya Rena menautkan jempol dan telunjuknya membentuk bulatan lalu
menggerak-gerakkannya dengan tegas seolah-olah sang editor sedang menduduki
kursi di depannya yang kosong.
“Ttuttt,,, ttutt,,,,”
“Hfff,,,”
Telfon sudah
diputus duluan. Setelah berat hati mematikan telfon yang sudah tak tersambung Rena meletakkan
handphone ke atas meja kayu jati bundar di depannya. Dengan bibir membleh dia menggeser-geser
kursi kayu yang sedang ia duduki mendekati meja lalu meletakkan kepalanya yang
tiba-tiba terasa berat. Saking kesalnya Rena menendang-nendang udara di bawah
meja lalu terdiam seperti tak bernyawa. Rena berusaha menarik nafas dalam namun
tak berhasil. Nggak menyangka, setelah jadi penulis dikejar-kejar deadline untuk
kesekian kalinya seperti ini dia benar-benar merasa di tebing surga yang
terjungkal ke neraka, seperti ikan tergeletak di luar akuarium yang luas.
Menggelepar, sekarat. Damn!
Sementara
seorang barista muda dan tampan dari arah meja bar tersenyum ke arah Rena.
Dengan senyumnya yang menawan ia cekatan meracik kopi.
Beberapa
menit kemudian si Barista tampan sudah berdiri di dekat Rena. Dia menaruh
segelas Black Coffee di depan hidung Rena. Dengan isengnya mengibas-ngibaskan
telapak tangannya dari atas gelas kopi ke arah wajah Rena. Aroma kopi yang begitu
segar langsung menyeruak. Mata Rena yag terpejam dan bibirnya yang melengkung
sedih langsung mengerjap terbuka. Tak butuh 2 detik untuk membuat Rena mengangkat
kepalanya. Lesung dipipi kirinya langsung terlihat, menambah manis senyumnya.
Aroma kopi hampir berhasil menutup bau badannya yang sudah 2 hari nggak ganti
baju dan boro-boro ingat keramas.
Tanpa
disuruh Rena langsung menyeruput bahagia Black Coffee kesukaannya itu. Uap kopi
membuat kacamatanya berembun. Matanya yang tak bisa diam tak sengaja melirik
jam di dinding cafe lalu kembali pasang muka sedih. Dia bergegas meletakkan
kembali cangkir kopinya ke atas tatakan gelas.
“Kenapa? Flat? Atau Hard?”
Si barista
tampan terlihat penasaran, menanyakan rasa kopi yang sudah diraciknya. Tertegun
melihat Rena. Mata Rena melirik tajam ke arah si barista..
“Hmm...
Sepertinya Harsh ya?!”
Entah kenapa
membuat si barista yang biasanya sabar kali ini merasa sangat tidak suka
terhadap perlakuan Rena.
“Kenapa
nggak kasih tatapan itu ke cowo’ mu aja? Ajari dia biar nggak jadi editor
masokis. Atau aku yang harus ngasih tau ke dia?”
Rena
menunduk, kaget dengan reaksi Ajun.
Tatapan Ajun
melembut, tangannya terulur mendekati poni Rena.
“Tunggu!”
Tangannya
yang terulur seketika ia tarik lalu ganti melipat kedua tangan di dada.
Tatapannya curiga.
“Kapan
terakhir kamu keramas?”
“Eh! Emang kelihatan
ya?”
Mata Rena
tertuju ke atas sambil merapi-rapikan ponnynya yang berminyak.
“Ckckckckk....”
Sambil
geleng-geleng kepala Ajun menatap tak percaya, sahabat sejak kecil yang
berkali-kali menolak menjadi pacar itu sudah berapa hari nggak mandi sih? Si
Editor gila itu benar-benar sudah menyiksa pacarnya sendiri. Ajun menatap Rena
dengan sedih.
“Rena,
sepertinya bulan kemarin akan jadi terakhir kalinya kamu nolak aku. Ada seorang
perempuan yang akan aku seriusi.”
Rena menatap
Ajun tak percaya. Bola matanya bergerak ke sana- ke mari, bingung. Sambil
terkekeh Rena memberanikan diri menatap sekilas ke arah Ajun lalu mengambil
kembali gelas kopinya yang masih hangat.
“Hehe...
pede nih ye?! Awas ditolak! Kalo kamu dito...”
“Nggak! Nggak
akan. Karena dia duluan yang bilang serius suka aku.”
Kopi di
gelas Rena bergoyang.
“Ehh?? Serius?”
Kata ‘serius’
terdengar begitu pelan. Sementara Ajun tidak menjawab.
“Eumm!”
Sambil
mengangguk suara Rena terdengar meyakinkan, padahal dia berusaha untuk
meyakinkan diri sendiri bahwa hal seperti inipun akan tiba saatnya. Kini Rena
memegang gelas kopinya dengan kedua tangan.
“Semoga
kalian berbahagia. Hehe...”
Rena tertawa
riang lalu menyeruput enak kopinya. Setidaknya itu yang difikirkan Ajun. Ajun tersenyum,
sementara hatinya mirip rasa coklat gosong, pahit!
Ajun
bergegas kembali ke meja bar. Di sana sudah ada pembeli yang baru saja datang
siap memesan.
Rena
mendadak gamang, sambil menatap Ajun yang sibuk dengan pembeli yang mulai
mengantri di depan meja barnya dia terlihat keren. Bagi Rena Ajun selalu
terlihat keren. Bagaimana tidak? Ajun adalah teman Rena sejak kecil yang kadangkala
jadi pahlawan ataupun kacungnya. Rena tak rela jika Ajun tertawa dengan wanita
lain. Mata Rena mulai merah. Dia segera mengambil ransel yang disandarkannya ke
kaki meja. Rena membuka laptopnya. Dengan jaringan wifi cafe yang lancar dia
segera mengirim email ke editornya lalu bergegas menelfon nomor di phonebook
bernama ‘Mas Editorku’.
“Halo! Mas,
naskahnya sudah saya kirim barusan.
Sudah terima? Ok.”
Rena
mematikan telfonnya. Dia kembali menelfon ‘Mas Editorku’. Orang yang sama
langsung mengangkatnya.
“Halo! Mas
Ramli, barusan aku ngirim naskah
terakhir buat editorku. Iya, terakhir. Oh iya, mas. Aku memutuskan untuk berhenti
juga jadi pacar mas. Aku baru sadar rupanya dari awal emang kita nggak cocok
dan nggak akan pernah cocok!”
Rena segera
memutuskan telfonnya.
“Hfff...”
Rena
menghela nafasnya dalam lalu menghembuskannya, lega. Seharusnya dia memutuskan
mas Ramli dari jauh-jauh hari. Kalo ibarat fitness hati Rena sudah punya abs.
Rena terkekeh geli membayangkannya.
“Bodohnya Ramli sudah menyia-nyiakanku!”
Rena menggerutu
sambil menatap kopi hitamnya yang sudah mulai dingin. Apakah dia juga suatu
hari akan memutuskan bersahabatannya dengan Ajun? Kalo Ajun jadi menikah dengan
wanita itu pasti dipelaminannya mau-nggak mau Rena akan mengucapkan selamat
kepada kedua mempelai. Jangan harap Rena mau jadi salah satu pagar ayu
dipernikahan Ajun. Ih! Ogahh!
Rena kembali
menatap Ajun yang sedang tersenyum manis ke arah pembeli perempuan di depannya.
“Ajunnn...”
Mata Rena kini
mulai berkaca-kaca. Rasa-rasanya dia sebentar lagi akan kehilangan sahabat
dekatnya. Dia bakal bahagia dengan perempuan lain. Sementara Rena??
###
Di kamar
kost yang berukuran 4x3 Rena terlihat duduk di sofa sambil membaca buku yang
terlihat sudah tua. Siapa yang menyangka jika itu adalah sebuah diary dari
moyang 5 generasi di atasnya. Sudah berkali-kali Rena membaca diary generasi
awal hingga ke 5 namun tak ada kata bosan. Diary pertama adalah milik moyangnya
yang orang Belanda, menceritakan awal dia pergi ke Indonesia. Namanya . Dialah
generasi pertama yang mendirikan cafe keluarga. Dia pada awalnya ke Indonesia
untuk belajar, namun karena tertarik dengan kopi Indonesia lalu mendirikan cafe
kopi dan mulai belajar meracik kopi. Dia juga yang mencetuskan rahasia kopi
Gosong milik keluarga Steinburg yang turun-temurun hingga generasi ke 5 yaitu
ayah Rena. Walaupun tangan kiri ayah Rena diamputasi karena menderita diabetes
ayah Rena yang pernah mendapat gelas master untuk perlombaan barista tingkat
asia tahun 90’an itu masih tetap menyeduh kopi untuk para pecinta kopi di
cafenya. Hingga satu setengah tahun lalu ayahnya jatuh koma. Mau tidak mau
bangunan cafe bersejarah bagi keluarga itupun dijual. Beruntung 2 tahun
sebelumnya ayah Rena mengajarkan ilmu baristanya kepada Ajun yang sangat
tertarik dengan kopi dibandingkan Rena yang justru keturunan asli keluarga. Namun
tetap saja rahasia kopi Gosong, kopi keluarga De Fries dijaga dengan sangat
rapi dan hanya keturunan yang menginginkan jadi baristalah yang wajib
mempelajarinya dan menguasainya.
Kopi Gosong
adalah Black Coffee yang diseduh dengan air mendidih, bukan hanya sekedar air
panas, sehingga menghasilkan bau gosong. Sedangkan biji kopi dari Black Coffee
Kopi Gosong De Fries adalah biji kopi khusus yang di pilih, dijemur, di simpan
dalam gudang penyimpanan dengan apik selama 1 tahun lalu bahkan lebih dari 1
tahun agar kualitasnya lebih maximal, dan dihancurkan dengan alat penumbuk kopi
alami dari lesung.
Pikiran Rena
kini rasanya lebih rumit dibandingkan Functional Grammar di perkuliahannya. Apa
yang harus dia katakan kepada para moyangnya jika cafe kopi kebanggaan
keluarganya mandul? Mungkin ‘mandul’ istilah yang paling pas saat ini. Apakah dia
harus belajar jadi barista? Atau mencari suami seorang barista? Atau minta ajarin Ajun sebelum dia menikah?
Lagi-lagi Ajun! Sementara ayahnya tercinta sedang terbaring koma di rumah
sakit. Kedua kakak dan ibunya banting tulang mencari uang untuk pengobatan
ayahnya. Tadi siang dia malah melakukan hal bodoh keluar dari pekerjaan
satu-satunya. Saatnya bagi Rena menjajakan kembali karya-karya miliknya ke
penerbit lain dan itu bukanlah hal mudah. Kepala Rena terasa berat. Pikirnya pasti
enak nih! Disaat-saat kayak gini minum black coffee buatan ayah yang khas atau
Ajun. Hmm... Lagi-lagi Ajun! Ajunnya yang akan meninggalkannya dan happy ending
sama perempuan yang beruntung itu.
Rena tak
bisa membendung tangisnya. Dengan memeluk diary moyang generasi barista kopi
Gosong De Fries pertamanya itu Rena tertidur, air matanya masih membekas basah
dibantal.
###
Pandangan
mata Rena begitu sejuk. Di depannya terdapat taman yang rumputnya terhampar
hijau dan dipenuhi bunga. Di tengah taman Rena melihat ada kolam air mancur
bercat putih, di sana terdapat ikan Koi beraneka warna berenang tenang.
Sementara meja dan kursi-kursi yang indah sudah tertata rapi menghadap air
mancur tersebut.
“Rena”
Suara
seorang lelaki bermata coklat terang menyodorkan gelasnya meminta untuk
melakukan cears. Rena yang sudah duduk di salah satu kursinya pun mengangkat
gelas dan menabrakkan gelasnya dengan gelas lelaki bule di depannya dengan
pelan. Keduanya meminum kopinya lalu saling tersenyum.
“Kopi
Gosong. Enak bukan? Ini hasil karya ik. Tidak sia-sia ik belajar meracik kopi.”
“Kakek
Cornelis De Fries?”
“Jou panggil
kakek? Ik masih terlihat muda. Hahaha...”
Rena
tertegun melihat moyang generasi pertama barista di keluarganya. Dia terlihat
bukan lelaki jahat. Seperti membaca fikirannya langsung meminta kepercayaan
Rena.
“Tentu saja,
ik bukan lelaki jahat. ik tak suka negara kita berperang. Ik sangat cinta
Indonesia. Dia anak ik, dia cucuk ik, kami adalah orang yang lebih cinta
menyeduh kopi dibandingkan berperang. Hey! Lihat. Cicit ik sudah datang. Hier!”
“Ayah?!!”
Ayah Rena
terlihat sangat muda dan tampan walaupun kulit sawo matangnya terlihat sangat
berbeda dibandingkan kakek-kakeknya yang masih keturunan Belanda asli.
Kini Rena
duduk minum kopi Gosong khas keluarga bersama ayah, kakek dan 2 moyang generasi
De Fries di atas kakeknya. Rena ingin menangis. Dengan kalimat terbata-bata
Rena berkata bahwa dia menyesal dan merasa malu bertemu dengan para moyangnya
yang dimasa hidupnya semua menjadi seorang barista sedangkan dia dan
kakak-kakanya tidak ada yang meneruskan tradisi keluarga menjadi seorang
barista.
“Kami tidak
memaksa. Jou punya hidup sendiri. Jangan merasa berat. Bisa menyeduhkan kopi dan
membuat orang lain tersenyum adalah kebahagiaan kami. Rena bisa melakukannya
dengan novel atau karya tulis lainnya. Bersemangat! Keluarga De Fries selalu
punya alasan untuk bahagia.”
“Kakek, Ajun
anak yang baik.”
Ayah Rena
bertanya kepada kakeknya, generasi ke 2 dari keluarga De Fries.
“Benar, ayah
dan anakku juga setuju kan?”
Mereka semua
tertawa ramai. Di tidurnya Rena tersenyum.
###
Pukul 11
malam cafe terasa sepi, di luar sana hujan, namun beberapa orang masih setia
menikmati kopi hangat sambil mengobrol dengan rekan maupun memainkan gedgetnya.
Atmosfir cafe Bright Coffee memang membuat betah pelanggan. Ajun yang tak sibuk
dengan leluasa mengangkat handphonenya menerima telfon. Dilayarnya tertera nama
“De Fries-Oujosama” (‘Tuan putri De
Fries’ dalam bahasa Jepang). Belum sempat Ajun mengangkat telfon lonceng di
pintu masuk cafe berbunyi. Seorang perempuan berpiyama dengan kaki kanan
bersandal kelinci dan kaki kiri bersandal Baim basah berlari ke arah Ajun.
Rena sambil
terisak bilang jika ayahnya baru saja dinyatakan meninggal. Ajun dengan mukanya
yang shock segera meyuruh anak buahnya menutup cafe seperti biasa jam 12 malam.
Sedangkan Ajun dan Rena bergegas menuju rumah sakit ayah Rena di rawat. Di taxi
yang menembus hujan Rena masih menangis, sementara Ajun terlihat gugup dan wajahnya
memerah menahan tangis.
Di rumah
sakit Rena dan Ajun berkumpul bersama ibu dan kedua kakak Rena. Semua menangis
dan terlihat sedih. Bagi Rena hari ini adalah hari yang begitu panjang dan
menyedihkan. Rena menangis sejadi-jadinya.
“Di mimpi
Rena tadi ayah dan para kakek buyut berkumpul bareng Rena. Mereka terlihat
sangat bahagia”
Ajun tak
bisa menahan tangisnya. Guru kesayangannya sekaligus barista legendaris di
hidupnya telah pergi selamanya.
###
Sudah 3
minggu Rena belajar menjadi barista di cafe Ajun. Bahkan Rena baru tau kalo
Ajun bisa jadi orang galak jika berurusan dengan kopi.
“Nggak usah
cengeng! Kalo almarhum ayahmu yang ngajarin pasti kamu udah kocar-kacir. Nyeduh
kopi emang gampang, tapi bikin kopi yang enak dan ngemixnya itu nggak gampang.
Kamu juga harus punya cita rasa.”
Ajun
mengajarkan sambil praktek langsung meracik kopi sementara Rena cuma melirik
sambil pasang bibir memblehnya.
“Duh! Yang cita rasanya udah
tinggi. Eh! Ngomong-ngomong cewe’ Ajun mana sih? Kok aku udah 3 minggu di sini
nggak dikenal-kenalin.”
“Yakin minta dikenalin? Entar nangis lagi. Oh iya! Ni aku mau ngasih
undangan ke kamu”
“Sembarangan! Siapa yang nangis?!!”
“Undangan??
Undangan pernikahan maksudnya? Cepet banget!”
Duh! Sebelum kena serangan jantung
mending minum kopi andalan, nge-Black Cofee dulu. Buru-buru Rena menuangkan kopi
ke mug kesayangannya. Tiba-tiba Ajun merebut gelasnya. Membuang separuh kopi
lalu memasukkan susu dan menambah topping cream kocok.
“Mending minum ini. Nih
undangannya.”
“Undangan pembukaan cafe makanan
Jepang ?? ‘Bawa undangan lalu makan gratis sepuasnya!’. Hmm! Ya elah! Makanan gratis.”
“Emang dikiranya undangan apaan?
Aku nggak jadi seriusan sama perempuan yang suka ke aku itu. Beberapa bulan yang
lalu ada cewe’ yang aku kenal dari kecil datang nangis-nangis sampai naik taxi
juga masih meluk lenganku kencang. Ingusnya aja nampe-nempel di kaosku. Jadi
aku nggak bisa ninggalin dia buat nikah sama cewe’ lain. Aku mau minta
pertanggung jawaban dia karena udah bikin aku susah ninggalin dia. Eh! Gimana? Mau
ya makan gratis. Hehe...”
Dengan mudahnya Ajun nyengir,
sementara Rena malah deg-degan.
“Gila!
Blak-blakan banget Ajun barusan! Kok jadi deg-degan gini ya?!”
“Nggak perlu nyalon kan Jun?”
Giliran Ajun yang cengo.
“Nyalon??
Maksudnya salon atau calon ya?!!”
Sementara orang-orang mulai ramai berdatangan
memesan kopi Gosong. Menu baru andalan Cafe Bright Coffee dengan Rena sebagai baristanya.
Eciee.... ^_^
###END###
Ket.:
Flat: Rasa hambar karena kehilangan
aroma
Hard: Cita rasa yang kuarng
seimbang, cenderung asam, karena kadar asam yang tinggi
Harsh: Rasa tajam atau sedikit
pedas menyengat lidah. (Namun di sini Ajun menyinggung karena Rena)
Twitter: https://twitter.com/aniek_rizka