Minggu, 21 Agustus 2016

Legenda Barista Kopi Gosong #MyCupOfStory





Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com


Legenda Barista Kopi Gosong

Di pojok meja cafe Bright Coffee seorang wanita berkacamata berusia 23 tahunan tengah sibuk dengan pembicaraan telfonnya terlihat kewalahan.
“Iya, maaf ini karena handphone Sa...”
Untuk kesekian kalinya ucapannya kembali dipotong.
“Iya, jadi gi...”
Si wanita paruh baya itu kini terlihat sedih. Ucapannya terpotong kembali. Mendadak dia punya ide mengganti nada bicaranya lebih tegas.
“Ok! Tolong beri saya 3 jam lagi. Sa... Awww!”
Sambil memekik hampir tanpa suara Rena menjauhkan smartphone dari telinganya yang mendadak berdenging. Teriakan di ujung telfon sana membuat telinganya sukses sakit. Editor killernya lah yang baru saja meneriakinya. Dengan muka takut Rena mendekatkan kembali, alih-alih memberi jarak, smartphone ke telinganya.
“Ha,,, hallo,,, Ok. 2 jam deh! 2 jam janji udah beres. Ok? Ok??”
Dengan kakunya Rena menautkan jempol dan telunjuknya membentuk bulatan lalu menggerak-gerakkannya dengan tegas seolah-olah sang editor sedang menduduki kursi di depannya yang kosong.
“Ttuttt,,, ttutt,,,,”
“Hfff,,,”
Telfon sudah diputus duluan. Setelah berat hati mematikan telfon yang sudah tak tersambung   Rena meletakkan handphone ke atas meja kayu jati bundar di depannya. Dengan bibir membleh dia menggeser-geser kursi kayu yang sedang ia duduki mendekati meja lalu meletakkan kepalanya yang tiba-tiba terasa berat. Saking kesalnya Rena menendang-nendang udara di bawah meja lalu terdiam seperti tak bernyawa. Rena berusaha menarik nafas dalam namun tak berhasil. Nggak menyangka, setelah jadi penulis dikejar-kejar deadline untuk kesekian kalinya seperti ini dia benar-benar merasa di tebing surga yang terjungkal ke neraka, seperti ikan tergeletak di luar akuarium yang luas. Menggelepar, sekarat. Damn!
Sementara seorang barista muda dan tampan dari arah meja bar tersenyum ke arah Rena. Dengan senyumnya yang menawan ia cekatan meracik kopi.
Beberapa menit kemudian si Barista tampan sudah berdiri di dekat Rena. Dia menaruh segelas Black Coffee di depan hidung Rena. Dengan isengnya mengibas-ngibaskan telapak tangannya dari atas gelas kopi ke arah wajah Rena. Aroma kopi yang begitu segar langsung menyeruak. Mata Rena yag terpejam dan bibirnya yang melengkung sedih langsung mengerjap terbuka. Tak butuh 2 detik untuk membuat Rena mengangkat kepalanya. Lesung dipipi kirinya langsung terlihat, menambah manis senyumnya. Aroma kopi hampir berhasil menutup bau badannya yang sudah 2 hari nggak ganti baju dan boro-boro ingat keramas.
Tanpa disuruh Rena langsung menyeruput bahagia Black Coffee kesukaannya itu. Uap kopi membuat kacamatanya berembun. Matanya yang tak bisa diam tak sengaja melirik jam di dinding cafe lalu kembali pasang muka sedih. Dia bergegas meletakkan kembali cangkir kopinya ke atas tatakan gelas.
“Kenapa? Flat? Atau Hard?”
Si barista tampan terlihat penasaran, menanyakan rasa kopi yang sudah diraciknya. Tertegun melihat Rena. Mata Rena melirik tajam ke arah si barista..
“Hmm... Sepertinya Harsh ya?!”
Entah kenapa membuat si barista yang biasanya sabar kali ini merasa sangat tidak suka terhadap perlakuan Rena.
“Kenapa nggak kasih tatapan itu ke cowo’ mu aja? Ajari dia biar nggak jadi editor masokis. Atau aku yang harus ngasih tau ke dia?”
Rena menunduk, kaget dengan reaksi Ajun.
Tatapan Ajun melembut, tangannya terulur mendekati poni Rena.
“Tunggu!”
Tangannya yang terulur seketika ia tarik lalu ganti melipat kedua tangan di dada. Tatapannya curiga.
“Kapan terakhir kamu keramas?”
“Eh! Emang kelihatan ya?”
Mata Rena tertuju ke atas sambil merapi-rapikan ponnynya yang berminyak.
“Ckckckckk....”
Sambil geleng-geleng kepala Ajun menatap tak percaya, sahabat sejak kecil yang berkali-kali menolak menjadi pacar itu sudah berapa hari nggak mandi sih? Si Editor gila itu benar-benar sudah menyiksa pacarnya sendiri. Ajun menatap Rena dengan sedih.
“Rena, sepertinya bulan kemarin akan jadi terakhir kalinya kamu nolak aku. Ada seorang perempuan yang akan aku seriusi.”
Rena menatap Ajun tak percaya. Bola matanya bergerak ke sana- ke mari, bingung. Sambil terkekeh Rena memberanikan diri menatap sekilas ke arah Ajun lalu mengambil kembali gelas kopinya yang masih hangat.
“Hehe... pede nih ye?! Awas ditolak! Kalo kamu dito...”
“Nggak! Nggak akan. Karena dia duluan yang bilang serius suka aku.”
Kopi di gelas Rena bergoyang.
“Ehh?? Serius?”
Kata ‘serius’ terdengar begitu pelan. Sementara Ajun tidak menjawab.
“Eumm!”
Sambil mengangguk suara Rena terdengar meyakinkan, padahal dia berusaha untuk meyakinkan diri sendiri bahwa hal seperti inipun akan tiba saatnya. Kini Rena memegang gelas kopinya dengan kedua tangan.
“Semoga kalian berbahagia. Hehe...”
Rena tertawa riang lalu menyeruput enak kopinya. Setidaknya itu yang difikirkan Ajun. Ajun tersenyum, sementara hatinya mirip rasa coklat gosong, pahit!
Ajun bergegas kembali ke meja bar. Di sana sudah ada pembeli yang baru saja datang siap memesan.
Rena mendadak gamang, sambil menatap Ajun yang sibuk dengan pembeli yang mulai mengantri di depan meja barnya dia terlihat keren. Bagi Rena Ajun selalu terlihat keren. Bagaimana tidak? Ajun adalah teman Rena sejak kecil yang kadangkala jadi pahlawan ataupun kacungnya. Rena tak rela jika Ajun tertawa dengan wanita lain. Mata Rena mulai merah. Dia segera mengambil ransel yang disandarkannya ke kaki meja. Rena membuka laptopnya. Dengan jaringan wifi cafe yang lancar dia segera mengirim email ke editornya lalu bergegas menelfon nomor di phonebook bernama ‘Mas Editorku’.
“Halo! Mas, naskahnya sudah saya kirim barusan. Sudah terima? Ok.”
Rena mematikan telfonnya. Dia kembali menelfon ‘Mas Editorku’. Orang yang sama langsung mengangkatnya.
“Halo! Mas Ramli, barusan aku ngirim naskah terakhir buat editorku. Iya, terakhir. Oh iya, mas. Aku memutuskan untuk berhenti juga jadi pacar mas. Aku baru sadar rupanya dari awal emang kita nggak cocok dan nggak akan pernah cocok!”
Rena segera memutuskan telfonnya.
“Hfff...”
Rena menghela nafasnya dalam lalu menghembuskannya, lega. Seharusnya dia memutuskan mas Ramli dari jauh-jauh hari. Kalo ibarat fitness hati Rena sudah punya abs. Rena terkekeh geli membayangkannya.
“Bodohnya Ramli sudah menyia-nyiakanku!”
Rena menggerutu sambil menatap kopi hitamnya yang sudah mulai dingin. Apakah dia juga suatu hari akan memutuskan bersahabatannya dengan Ajun? Kalo Ajun jadi menikah dengan wanita itu pasti dipelaminannya mau-nggak mau Rena akan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Jangan harap Rena mau jadi salah satu pagar ayu dipernikahan Ajun. Ih! Ogahh!
Rena kembali menatap Ajun yang sedang tersenyum manis ke arah pembeli perempuan di depannya.
“Ajunnn...”
Mata Rena kini mulai berkaca-kaca. Rasa-rasanya dia sebentar lagi akan kehilangan sahabat dekatnya. Dia bakal bahagia dengan perempuan lain. Sementara Rena??
###
Di kamar kost yang berukuran 4x3 Rena terlihat duduk di sofa sambil membaca buku yang terlihat sudah tua. Siapa yang menyangka jika itu adalah sebuah diary dari moyang 5 generasi di atasnya. Sudah berkali-kali Rena membaca diary generasi awal hingga ke 5 namun tak ada kata bosan. Diary pertama adalah milik moyangnya yang orang Belanda, menceritakan awal dia pergi ke Indonesia. Namanya . Dialah generasi pertama yang mendirikan cafe keluarga. Dia pada awalnya ke Indonesia untuk belajar, namun karena tertarik dengan kopi Indonesia lalu mendirikan cafe kopi dan mulai belajar meracik kopi. Dia juga yang mencetuskan rahasia kopi Gosong milik keluarga Steinburg yang turun-temurun hingga generasi ke 5 yaitu ayah Rena. Walaupun tangan kiri ayah Rena diamputasi karena menderita diabetes ayah Rena yang pernah mendapat gelas master untuk perlombaan barista tingkat asia tahun 90’an itu masih tetap menyeduh kopi untuk para pecinta kopi di cafenya. Hingga satu setengah tahun lalu ayahnya jatuh koma. Mau tidak mau bangunan cafe bersejarah bagi keluarga itupun dijual. Beruntung 2 tahun sebelumnya ayah Rena mengajarkan ilmu baristanya kepada Ajun yang sangat tertarik dengan kopi dibandingkan Rena yang justru keturunan asli keluarga. Namun tetap saja rahasia kopi Gosong, kopi keluarga De Fries dijaga dengan sangat rapi dan hanya keturunan yang menginginkan jadi baristalah yang wajib mempelajarinya dan menguasainya.
Kopi Gosong adalah Black Coffee yang diseduh dengan air mendidih, bukan hanya sekedar air panas, sehingga menghasilkan bau gosong. Sedangkan biji kopi dari Black Coffee Kopi Gosong De Fries adalah biji kopi khusus yang di pilih, dijemur, di simpan dalam gudang penyimpanan dengan apik selama 1 tahun lalu bahkan lebih dari 1 tahun agar kualitasnya lebih maximal, dan dihancurkan dengan alat penumbuk kopi alami dari lesung.
Pikiran Rena kini rasanya lebih rumit dibandingkan Functional Grammar di perkuliahannya. Apa yang harus dia katakan kepada para moyangnya jika cafe kopi kebanggaan keluarganya mandul? Mungkin ‘mandul’ istilah yang paling pas saat ini. Apakah dia harus belajar jadi barista? Atau mencari suami seorang barista?  Atau minta ajarin Ajun sebelum dia menikah? Lagi-lagi Ajun! Sementara ayahnya tercinta sedang terbaring koma di rumah sakit. Kedua kakak dan ibunya banting tulang mencari uang untuk pengobatan ayahnya. Tadi siang dia malah melakukan hal bodoh keluar dari pekerjaan satu-satunya. Saatnya bagi Rena menjajakan kembali karya-karya miliknya ke penerbit lain dan itu bukanlah hal mudah. Kepala Rena terasa berat. Pikirnya pasti enak nih! Disaat-saat kayak gini minum black coffee buatan ayah yang khas atau Ajun. Hmm... Lagi-lagi Ajun! Ajunnya yang akan meninggalkannya dan happy ending sama perempuan yang beruntung itu.
Rena tak bisa membendung tangisnya. Dengan memeluk diary moyang generasi barista kopi Gosong De Fries pertamanya itu Rena tertidur, air matanya masih membekas basah dibantal.
###
Pandangan mata Rena begitu sejuk. Di depannya terdapat taman yang rumputnya terhampar hijau dan dipenuhi bunga. Di tengah taman Rena melihat ada kolam air mancur bercat putih, di sana terdapat ikan Koi beraneka warna berenang tenang. Sementara meja dan kursi-kursi yang indah sudah tertata rapi menghadap air mancur tersebut.
“Rena”
Suara seorang lelaki bermata coklat terang menyodorkan gelasnya meminta untuk melakukan cears. Rena yang sudah duduk di salah satu kursinya pun mengangkat gelas dan menabrakkan gelasnya dengan gelas lelaki bule di depannya dengan pelan. Keduanya meminum kopinya lalu saling tersenyum.
“Kopi Gosong. Enak bukan? Ini hasil karya ik. Tidak sia-sia ik belajar meracik kopi.”
“Kakek Cornelis De Fries?”
“Jou panggil kakek? Ik masih terlihat muda. Hahaha...”
Rena tertegun melihat moyang generasi pertama barista di keluarganya. Dia terlihat bukan lelaki jahat. Seperti membaca fikirannya langsung meminta kepercayaan Rena.
“Tentu saja, ik bukan lelaki jahat. ik tak suka negara kita berperang. Ik sangat cinta Indonesia. Dia anak ik, dia cucuk ik, kami adalah orang yang lebih cinta menyeduh kopi dibandingkan berperang. Hey! Lihat. Cicit ik sudah datang. Hier!”
“Ayah?!!”
Ayah Rena terlihat sangat muda dan tampan walaupun kulit sawo matangnya terlihat sangat berbeda dibandingkan kakek-kakeknya yang masih keturunan Belanda asli.
Kini Rena duduk minum kopi Gosong khas keluarga bersama ayah, kakek dan 2 moyang generasi De Fries di atas kakeknya. Rena ingin menangis. Dengan kalimat terbata-bata Rena berkata bahwa dia menyesal dan merasa malu bertemu dengan para moyangnya yang dimasa hidupnya semua menjadi seorang barista sedangkan dia dan kakak-kakanya tidak ada yang meneruskan tradisi keluarga menjadi seorang barista.
“Kami tidak memaksa. Jou punya hidup sendiri. Jangan merasa berat. Bisa menyeduhkan kopi dan membuat orang lain tersenyum adalah kebahagiaan kami. Rena bisa melakukannya dengan novel atau karya tulis lainnya. Bersemangat! Keluarga De Fries selalu punya alasan untuk bahagia.”
“Kakek, Ajun anak yang baik.”
Ayah Rena bertanya kepada kakeknya, generasi ke 2 dari keluarga De Fries.
“Benar, ayah dan anakku juga setuju kan?”
Mereka semua tertawa ramai. Di tidurnya Rena tersenyum.
###
Pukul 11 malam cafe terasa sepi, di luar sana hujan, namun beberapa orang masih setia menikmati kopi hangat sambil mengobrol dengan rekan maupun memainkan gedgetnya. Atmosfir cafe Bright Coffee memang membuat betah pelanggan. Ajun yang tak sibuk dengan leluasa mengangkat handphonenya menerima telfon. Dilayarnya tertera nama “De Fries-Oujosama” (‘Tuan putri De Fries’ dalam bahasa Jepang). Belum sempat Ajun mengangkat telfon lonceng di pintu masuk cafe berbunyi. Seorang perempuan berpiyama dengan kaki kanan bersandal kelinci dan kaki kiri bersandal Baim basah berlari ke arah Ajun.
Rena sambil terisak bilang jika ayahnya baru saja dinyatakan meninggal. Ajun dengan mukanya yang shock segera meyuruh anak buahnya menutup cafe seperti biasa jam 12 malam. Sedangkan Ajun dan Rena bergegas menuju rumah sakit ayah Rena di rawat. Di taxi yang menembus hujan Rena masih menangis, sementara Ajun terlihat gugup dan wajahnya memerah menahan tangis.
Di rumah sakit Rena dan Ajun berkumpul bersama ibu dan kedua kakak Rena. Semua menangis dan terlihat sedih. Bagi Rena hari ini adalah hari yang begitu panjang dan menyedihkan. Rena menangis sejadi-jadinya.
“Di mimpi Rena tadi ayah dan para kakek buyut berkumpul bareng Rena. Mereka terlihat sangat bahagia”
Ajun tak bisa menahan tangisnya. Guru kesayangannya sekaligus barista legendaris di hidupnya telah pergi selamanya.
###
Sudah 3 minggu Rena belajar menjadi barista di cafe Ajun. Bahkan Rena baru tau kalo Ajun bisa jadi orang galak jika berurusan dengan kopi.
“Nggak usah cengeng! Kalo almarhum ayahmu yang ngajarin pasti kamu udah kocar-kacir. Nyeduh kopi emang gampang, tapi bikin kopi yang enak dan ngemixnya itu nggak gampang. Kamu juga harus punya cita rasa.”
Ajun mengajarkan sambil praktek langsung meracik kopi sementara Rena cuma melirik sambil pasang bibir memblehnya.
“Duh! Yang cita rasanya udah tinggi. Eh! Ngomong-ngomong cewe’ Ajun mana sih? Kok aku udah 3 minggu di sini nggak dikenal-kenalin.”
“Yakin minta dikenalin?  Entar nangis lagi. Oh iya! Ni aku mau ngasih undangan ke kamu”
“Sembarangan! Siapa yang nangis?!!”
“Undangan?? Undangan pernikahan maksudnya? Cepet banget!”
Duh! Sebelum kena serangan jantung mending minum kopi andalan, nge-Black Cofee dulu. Buru-buru Rena menuangkan kopi ke mug kesayangannya. Tiba-tiba Ajun merebut gelasnya. Membuang separuh kopi lalu memasukkan susu dan menambah topping cream kocok.
“Mending minum ini. Nih undangannya.”
“Undangan pembukaan cafe makanan Jepang ?? ‘Bawa undangan lalu makan gratis sepuasnya!’. Hmm! Ya elah! Makanan gratis.”
“Emang dikiranya undangan apaan? Aku nggak jadi seriusan sama perempuan yang suka ke aku itu. Beberapa bulan yang lalu ada cewe’ yang aku kenal dari kecil datang nangis-nangis sampai naik taxi juga masih meluk lenganku kencang. Ingusnya aja nampe-nempel di kaosku. Jadi aku nggak bisa ninggalin dia buat nikah sama cewe’ lain. Aku mau minta pertanggung jawaban dia karena udah bikin aku susah ninggalin dia. Eh! Gimana? Mau ya makan gratis. Hehe...”
Dengan mudahnya Ajun nyengir, sementara Rena malah deg-degan.
“Gila! Blak-blakan banget Ajun barusan! Kok jadi deg-degan gini ya?!”
“Nggak perlu nyalon kan Jun?”
Giliran Ajun yang cengo.
“Nyalon?? Maksudnya salon atau calon ya?!!”
Sementara orang-orang mulai ramai berdatangan memesan kopi Gosong. Menu baru andalan Cafe Bright Coffee dengan Rena sebagai baristanya. Eciee.... ^_^

###END###
Ket.:
Flat: Rasa hambar karena kehilangan aroma
Hard: Cita rasa yang kuarng seimbang, cenderung asam, karena kadar asam yang tinggi
Harsh: Rasa tajam atau sedikit pedas menyengat lidah. (Namun di sini Ajun menyinggung karena Rena)

Twitter:  https://twitter.com/aniek_rizka 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar